印尼官员解析禁矿始末原委 可能是这些原因……
发布时间:2019-08-26 17:02:50      来源:上海有色网
8月26日讯:近日,据印尼当地媒体报道,政府计划加快对镍矿石出口的禁令,该禁令将于2022年生效。企业家实际上并不介意下游问题,而是要求改善首先供应给冶炼厂的镍贸易体系。
针对这一情况,海上事务协调部长Luhut Binsar Pandjaitan在接受CNBC印度尼西亚采访时表示,这项禁令是政府通过加工原材料增加镍产品出口的一部分,以便能够生产具有附加值的出口产品,并最终减少经常账户的赤字。
Luhut在接受CNBC印度尼西亚采访时表示:“有人说中国游说到印度尼西亚,中国的游说团体是什么?对中国的出口?不要逆转,因为所有这些出口主要是对中国谁有增值?中国是对的。现在有26个IUP更愿意牺牲,不仅仅是因为你可以获利,所以你可以继续出口。”他还表示,他将修复贸易体系,包括实施镍企业家所传达的国内镍矿销售价格。
Luhut表示,“有一些东西需要改进(贸易体系),我们也不希望在这里冶炼的企业家都设定价格,政府将设定价格,以便IUP所有者也以合理的价格进入冶炼厂。”
此前,印度尼西亚镍矿业协会(APNI)秘书长Meidy K Lengkey透露了她的一方抱怨政府没有加快实施禁止出口镍矿的禁令的原因。原因是到目前为止,企业家依赖出口配额。Meidy表示,“我们被要求轮换,可能会出口矿石,但我们必须建造一个冶炼厂,资金来自哪里?”
此外,这也涉及售价。如果追查,它可以从国内买家开始,其中大部分需求镍矿石的水平高于1.8%。同时,对于出口,最高许可水平仅为1.7%。事实上,政府已经确定了作为政府特许权使用费基础的矿物基准价格(HPM),并指定了五名测量员,即Sucofindo,Surveyor Indonesia,Carsurin,Geo Service和Anindya来确定最高品味,HPM,特许权使用费和PPh等。
Meidy表示:“但是,当镍矿石被卖给国内冶炼厂买家时,他们不使用政府指定的五名测量员,使用Intertek。买家确定他们必须在CIF /卸货港口使用Intertek。”这种影响,这对国家企业家获得的镍矿石的销售价格有影响,结果远远低于出口价格的收购。即使出售的镍矿石品位很高。此外,他还强调了国家镍企业家所遭受的不公正待遇。这与提供特许权使用费和PPh矿石有关。
Meidy解释说,有两种类型的镍矿开采许可证,即采矿业务许可证(IUP)和工业业务许可证(IUI)。
到目前为止,政府只对仅拥有IUP的公司征收版税和PPh,而没有规则要求IUI支付这两件事。事实上,如果IUI支付版税和PPh,国家收入将更高。
Meidy总结道“IUI是免版税的,没有强制性的特许权使用费。这不公平,不是吗?我们都生产相同的商品,但我们为什么要区别对待,即使我们是国家企业,我们自己的亲生儿。”
为了更好的了解消息,以下是原文的链接与更为详细的原文:
》点击查看原文链接
》原文:
Luhut Buka-bukaan Larang Ekspor Nikel, Ini Alasan Utamanya
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah berencana untuk mempercepat pelarangan ekspor bijih nikel, yang semestinya berlaku pada 2022 mendatang. Para pengusaha sebenarnya tidak keberatan soal hilirisasi namun meminta pembenahan tata niaga nikel yang dipasok ke smelter terlebih dahulu.
Menanggapi hal ini, dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Menko Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, pelarangan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan ekspor produk nikel melalui pengolahan raw material sehingga dapat menghasilkan produk ekspor yang memiliki nilai tambah, dan pada akhirnya mampu mengurangi defisit transaksi berjalan.
"Ada yang bilang lobi-lobi China ke Indonesia, lobi-lobi China apa? Untuk ekspor ke China? Jangan dibalik-balik dong, karena semua ekspornya itu hampir sebagian besar ke Tiongkok yang nikmati nilai tambah siapa? Tiongkok kan. Sekarang yang punya 26 lebih IUP itu ya mau juga berkorban dong, jangan hanya karena dapat untung berapa ya terus ekspor saja," tegas Luhut dalam wawancara dengan CNBC Indonesia.
Ia pun mengatakan, akan membenahi tata niaga perdagangan, termasuk pengenaan harga jual bijih nikel domestik, seperti yang disampaikan oleh para pengusaha nikel.
"Ada yang perlu dibenahi (tata niaga), kami juga tidak mau pengusaha yang smelter di sini itu semua yang atur harga, pemerintah yang akan atur harga itu, supaya pemilik-pemilik IUP tadi juga masok ke smelter sini dengan harga yang pantas," tutur Luhut, Jumat (23/8/2019).
"Nah, itu yang kami mau benahi, dan saya sudah bilang, eh kalian tidak boleh dong sampai 10 dolar beda harganya sama harga internasional," tambah Luhut.
Untuk itu, lanjut Luhut, contoh pembenahan aturannya bisa dengan mekanisme harga batas atas dan batas bawah.
"Iya bisa begitu, kami bikin mekanisme itu tentu bukan hal yang sulit," pungkas Luhut.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy K Lengkey membeberkan alasan mengapa pihaknya kekeuh agar pemerintah tidak mempercepat pemberlakuan larangan ekspor bijih nikel.
Pasalnya, selama ini pengusaha nasional bergantung pada kuota ekspor.
"Kami diminta untuk melakukan penghiliran, boleh ekspor ore tapi harus bangun smelter, modalnya darimana? Dari ekspor," ungkap Meidy saat dijumpai di Jakarta, Kamis (22/8/2019).
Di samping itu, ini juga menyangkut soal harga jual. Jika dirunut, bisa dimulai dari pembeli domestik yang mayoritasnya meminta bijih nikel dengan kadar di atas 1,8%. Sementara, untuk ekspor, maksimal kadar yang diizinkan hanya mencapai 1,7%.
Tentunya, besaran kadar berpengaruh pada harga. Sebab, semakin tinggi kadar, tentu output yang dihasilkan juga tinggi, kemudian penjualan tinggi karena harganya juga tinggi. Pendapatan besar.
Sejatinya, pemerintah sudah menentukan Harga Patokan Mineral (HPM) yang digunakan sebagai acuan dasar royalti pemerintah, dan telah menunjuk lima surveyor, yakni Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Service, dan Anindya untuk menentukan tinggi kadar, HPM, besaran royalti, dan PPh tersebut.
"Tapi, ketika bijih nikel dijual ke pembeli smelter domestik, mereka tidak pakai lima surveyor yang ditunjuk pemerintah, pakainya Intertek. Pembeli tentukan wajib gunakan Intertek di CIF/pelabuhan bongkar," kata Meidy.
Dampaknya, ini berpengaruh pada harga jual bijih nikel yang didapatkan oleh pengusaha nasional, yang ternyata jauh lebih rendah dibandingkan dengan perolehan harga ekspor. Padahal bijih nikel yang dijual adalah yang berkadar tinggi.
"Harga lokal 1,8% yang diterima itu cuma kira-kira Rp 300.000, atau US$ 24-25. Sedangkan kalau ekspor 1,7% itu US$ 34 dolar per ton. Ini kadar rendah. Jadi, kadar tinggi dijual dengan harganya serendah-rendahnya, yang satu diekspor harga tinggi," imbuh Meidy.
i samping itu, pihaknya pun menyoroti ketidakadilan yang dialami pengusaha nikel nasional. Hal ini terkait dengan pemberian royalti dan PPh ore.
Meidy menjelaskan, ada dua jenis izin yang dikeluarkan untuk pertambangan nikel, yakni Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Industri (IUI).
Selama ini, pemerintah hanya mengenakan royalti dan PPh kepada perusahaan yang memiliki IUP saja, sedangkan tidak ada aturan yang mewajibkan IUI membayar dua hal tersebut. Padahal, jika IUI membayar royalti dan PPh, pemasukan negara akan lebih besar.
"IUI bebas royalti, tidak ada aturan wajib bayar royalti. Ini tidak adil dong? Ini kan sama-sama memproduksi barang yang sama, tapi kok perlakuan beda, bahkan ini kami pengusaha nasional lho, anak kandung negeri sendiri," pungkas Meidy. (hps)